Menggagas Profesionalisme Guru, Oleh : Gelora Mulia Lubis . SPd
Kemampuan mental yang dimaksud adalah adanya persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis, sehingga muncullah organisasi-organisasi profesi yang bersumber dari produk akademik. Oleh karena itu makna profesionalisme sudah pasti sifat-sifat profesional yang dimiliki oleh si individu. Sebagai perbandingan seorang yang profesional memiliki sikap dan perbuatan yang berbeda dengan orang yang tidak profesional, meskipun dalam pekerjaan yang sama atau berada pada satu ruang kerja.
Pengembangan Profesionalisme Guru Seorang guru ketika ditanya apakah ia sudah profesional mengajar dan mendidik, tentulah jawaban relatif dan variatif. Ada yang merasa sudah maksimal dan atas dasar panggilan hati, ada juga yang merasa belum maksimal disebabkan berbagai faktor. Untuk menyikapi pertanyaan tersebut perlu kita pahami terlebih dahulu tiga unsur sebagai penopang terbangunnya keprofesionalan yaitu pengetahuan, keahlian dan persiapan akademik.
Pengetahuan adalah segala fenomena yang diketahui dan disistematisasikan sedemikian rupa sehingga memiliki daya prediksi, daya kontrol dan daya aplikasi tertentu. Pada tingkat yang lebih tinggi pengetahuan bermakna kapasitas kognitif yang dimiliki oleh seseorang melalui proses belajar. Keahlian bermakna penguasaan substansi keilmuan yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak. Keahlian juga bermakna kepakaran dalam cabang ilmu tertentu untuk dibedakan dengan kepakaran lainnya.
Persiapan akademik mengandung arti bahwa untuk mencapai derajat profesional atau memasuki jenis profesi tertentu, diperlukan persyaratan pendidikan khusus, berupa pendidikan prajabatan yang dilaksanakan pada lembaga pendidikan formal, seperti Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) khususnya untuk guru. Sepertinya sudah tidak asing lagi bagi pendengaran kita, berbagai tuntutan dan predikat yang haruis disandang sebagai guru atau tenaga pendidik.
Guru harus dapat digugu dan ditiru, pahlawan tanpa tanda jasa atau meminjam istilah anak-cucu Bapak Umar Bakri-nya penyanyi Iwan Fals yang perlu dilestarikan. Namun di sisi lain, hemat penulis, untuk pembentukan keprofesionalan guru diperkuat beberapa hal yang harus dimilikinya dan terus disikapi oleh pemerintah. Pertama, kemampuan intelektual yang perlu digali dan dipertajam dengan input sains dan teknologi yang terkini. Kedua, pengetahuan spesialisasi yang terus dikembangkan sehingga menimbulkan kompetensi atau skill yang inovatif.
Ketiga, kemampuan komunikasi dan mengkomunikasikan ilmu kepada siswa dan lingkungan sosial. Ketiga poin di atas mengajak guru tidak hanya merasa puas dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui bangku akademiknya saja, tetapi lebih jauh diharapkan mampu merencanakan dan mewujudkan strategi-strategi baru yang cerdas dan dinamis. Idealnya guru profesional harus memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, idealisme, komitmen, kualifikasi akademik, kompetensi, tanggung jawab dan prestasi kerja.
Guru harus terus membaca buku-buku pengetahuan terkini, mengikuti informasi up to date surat kabar, mampu mengoperasikan komputer dan internet dan senantiasa mengikuti pendidikan latihan (diklat) serta melakukan penelitian terhadap perkembangan ilmu yang diperoleh. Seperti halnya guru-guru di Jepang yang secara terus-menerus meningkatkan profesionalismenya dengan mengikuti diklat dan mendiskusikan kembali serta mengevaluasi diri (Widiani, Gerbang, 2003:72).
Di Amerika Serikat, pengembangan tenaga kependidikan yang efektif dilakukan dengan beberapa model. Derdasarkan hasil studi pustaka (library research) yang dilakukan Crandall (Eric Digest, 1994) mengemukakan model-modelnya sebagai berikut: pertama, model mentoring yaitu para praktisi atau guru berpengalaman merilis pengetahuannya atau memberikan mentor kepada praktisi yang kurang berpengalaman. Kedua, model praktik (terapan) berupa penautan antara hasil-hasil riset yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan praktis.
Dan yang ketiga, model inkuiri yaitu pendekatan yang berbasis pada guru-guru. Pada model ini guru-guru diharuskan aktif menjadi peneliti, seperti membaca, bertukar pendapat, melakukan observasi, menganalisa kritis dan merefleksikan pengalaman praktis. Pengembangan profesionalisme guru perlu mendapat respon aktif dari semua pihak, termasuk kepala sekolah, pihak penyelenggara sekolah (yayasan bila swasta) dan pemerintah melalui pejabat yang berwenang. Kongkritnya, pemerintah jangan terlalu banyak menuntut kualitas pendidikan di negeri ini bila tidak dibarengi dengan perhatian yang cukup serius. Kenyataan di lapangan, nasib guru masih sangat memprihatinkan. Terlebih lagi guru swasta yang belum memiliki ketegasan standar honor minimum.
Masih banyak Yayasan pendidikan sebagai penyelenggara yang profit taking oriented dan tanpa disadari kurang mengabaikan hak asasi guru sebagai manusia.
Misalnya, guru yang sakit tidak dapat mengajar, kompensasinya harus dipotong. Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Seperti halnya celetukan para guru yang kerap kita dengar, “buru-buru beli buku, langganan surat kabar, beli komputer, makan saja pun masih terancam mengutang…!” Selamat Datang Era Sertifikasi! Sebagaimana yang tercantum dalam Undang Undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005, guru memang memiliki kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Fungsinya tidak lain meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pemelajaran dan meningkatkan mutui pendidikan nasional.
Guru yang profesional perlu mendapat penilaian dan pengakuan dari pihak lain. Bila sudah ada usaha dan upaya guru itu sendiri meningkatkan kualitas diri dan profesinya, maka sudah pasti selayaknya diberikan penghargaan (award) sebagai reinforce (penguat) dan motivasi. Penghargaan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang oleh Maslow disebut dengan esteem need yaitu kebutuhan untuk dihargai atau dihormati orang lain sebagai manusia yang mempunyai harga diri dan hak asasi. Jika guru sudah memiliki kualifikasi akademik yang tepat dan kompetensi yang maksimal, maka sudah saatnya dirinya memperoleh sertifikasi pendidik sebagaimana terinci dalam UU Guru dan Dosen tersebut.
Sertifikasi Pendidik diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan (LPTK) yang terakreditasi dan berstandar A yang ditunjuk oleh pemerintah. Begitu juga pemerintah dan pemda (pemerintah daerah) wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemda dan masyarakat.
Seminar sehari tentang Sosialisi Sertifikasi Pendidik yang berlangsung di Auditorium Unimed hari Selasa 7 Nopember 2006 lalu menguraikan petunjuk pelaksanaannya. Disebutkan bagi guru yang lulus uji sertifikasi dengan aspek penilaian pedagogik, kepribadian, akademik, sosial dan lingkungannya, akan mendapatkan sertifikat dengan konsekuensi memperoleh tunjangan profesional berupa satu bulan gaji ditambah tunjangan fungsional. Kebijakan ini berlaku untuk semua guru tanpa memandang status, apakah guru PNS, guru bantu (honorer) atau guru swasta.
Disebutkan pula uji seleksi ini dimulai tahun 2007 (khusus guru PNS) dan berlaku aktif tahun 2009. Hanya saja banyak kalangan pesimis apakah fasilitas ini serius dapat dinikmati guru – guru swasta. Jangan-jangan sebatas lips service penghibur lara. Sehingga muncul stetmen yang bernada emosi, “sampai kapan sih Negara terus menganak-emaskan guru negeri?” Okey, baiknya kita berhusnuzon saja.
Kita semua pastilah menyambut baik kebijakan ini, terlebih lagi guru swasta yang emngibarakannya bagai air hujan di musim kemarau yang panjang.. Namun, soal realisasinya pastilah semua berharap tidak dicemari dengan adanya unsur KKN, koneksi dan kedekatan. Tim penguji juga diharapkan lebih objektif tanpa ada unsur prioritas-prioritasan.
Misalnya, lebih memprioritaskan guru berstatus PNS, sehingga mengabaikan eksistensi guru swasta yang mungkin sebenarnya dianggap lebih layak. Akhirnya, penulis berharap semua guru Indonesia baik PNS maupun swasta teruslah mengembangkan pontensi dan mengevaluasi diri. Jangan kita larut dengan status negeri atau swasta yang kita sandang. Karena itu penulis lebih setuju menyebut diri kita sebagai Guru Indonesia Bersama kita kaji, seberapa jauh ketertinggalan kita akan ilmu pengetahuan terkini. Sudah seberapa besar sumbangsih kita mengantarkan anak bangsa dalam mengisi kemerdekaan ini. Dengan pengevaluasian tersebut, kita akan lebih berpacu mengejarnya. Insya’ Allah!
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home